Headline9.com, MARTAPURA – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banjar kembali menunjukkan kelemahannya. Gubuk reot milik Martinah (62), warga Desa Tampang Awang yang puluhan tahun tak tersentuh bantuan, justru harus ditangani oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kalimantan Selatan lewat program bedah rumah atau Rumah Tidak Layak Huni (Rutilahu).
Lambannya respons Pemkab Banjar membuat Pemerintah Desa Tampang Awang turun tangan mengusulkan bantuan ke Dinas Sosial (Dinsos) Provinsi Kalsel. Hasilnya, rumah Martinah yang hampir roboh dipastikan akan direhabilitasi total pada 2025.
Ironisnya, fakta memprihatinkan itu justru berlangsung di periode kedua kepemimpinan Bupati Banjar H Saidi Mansyur dan Wakil Bupati Said Idrus Al Habsyi yang selalu lantang bicara soal pembangunan.
Kepala Desa Tampang Awang, H Ideris, tak bisa menutupi rasa malunya. “Kita sudah sering usulkan agar warga masuk program Rutilahu termasuk Martinah. Saya itu malu loh, survey beberapa kali terus sering foto-foto tapi tak terealisasi. Jika pun terealisasi, justru tak tepat sasaran,” ujarnya, Rabu (27/8/2025).
Ideris menegaskan, usulan bedah rumah Martinah memang bukan dari Pemkab Banjar melainkan langsung ke Pemprov Kalsel.
“Kita tidak mengusulkan ke Pemkab Banjar, tapi ke Pemprov. Tahun ini, Rutilahu untuk Martinah direalisasikan. Hal itu juga pernah disampaikan Anggota DPRD Banjar, Wahyu Akbar,” ungkapnya.
Menanggapi hal itu, Kabid Pemberdayaan Sosial dan Penanganan Fakir Miskin Dinsos P3AP2KB Banjar, Aswadi, justru melempar tanggung jawab ke pihak desa. Ia menyebut Pemdes Tampang Awang tak proaktif.
“Kan mereka yang lebih mengetahui kondisi warganya. Jadi ada dua mekanisme, lewat Musrenbang atau usulan proposal. Kalau tidak dilakukan, tentu tidak masuk program kami,” dalihnya, Selasa (26/8/2025).
Padahal, Dinsos Banjar tahun ini memiliki jatah 106 unit Rutilahu dengan anggaran Rp20 juta per unit.
Ironisnya, 15 unit di antaranya justru “diamankan” untuk program pokok pikiran (pokir) anggota DPRD Banjar. Sementara Martinah harus rela menunggu belas kasihan pemerintah provinsi.
Alasan klasik pun kembali disampaikan Aswadi: ada usulan yang tak sesuai kondisi lapangan, ada rumah di zona hijau, ada juga yang tak punya sertifikat.
Namun, faktanya, gubuk Martinah yang penuh lubang, lantai lapuk, dan atap hanya ditutup terpal malah luput dari perhatian Pemkab Banjar.
Dengan kondisi itu, Pemkab Banjar layak dituding kecolongan. Alih-alih hadir memberi solusi bagi warganya yang miskin, bantuan justru harus datang dari pemerintah provinsi. Sementara slogan “Banjar MANIS – Maju, Mandiri, Agamis” makin terdengar seperti ironi: mandiri dalam penderitaan, agamis dalam doa, dan maju hanya dalam seremonial.
Reporter: Riswan | Editor: Nashrullah















