Headline9.com, MARTAPURA – Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup (DPRKPLH) Kabupaten Banjar, tak berani menyatakan pertambangan di Desa Gunung Ulin, Kecamatan Mataraman, Kabupaten Banjar, adalah aktivitas ilegal.
Dikonfirmasi, Kepala Bidang (Kabid) Penataan dan Peningkatan Kapasitas Lingkungan DPRKPLH Kabupaten Banjar, Hendra Mahyudi, mengungkapkan, pihaknya belum memantau ke lokasi. Bahkan, tak mengetahui di mana letak adanya aktivitas pertambangan itu. “Jujur ya, saya tak paham dengan kondisinya seperti apa. Termasuk izinnya apakah legal atau ilegal, itu kami tidak tahu sama sekali. Dulu iya, sekarang kan kewenangan pusat,” ujar dia, di ruang kerjanya, Senin (15/12/2025).
Kewenangan terkait pengawasan, kata dia, bukan ranah pihaknya lagi. Sesuai aturan, pengawasan kini diambil alih oleh pemerintah pusat. Sehingga, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banjar menganggap tak mempunyai kekuatan untuk melakukan penegakan hukum.

Berkaitan pengawasan, itu telah diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Secara otomatis, UU Nomor 3 Tahun 2020 telah menghapus kewenangan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam pengelolaan pertambangan mineral dan batubara.
“Yang mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) itu mereka (pusat, red). Artinya, pusat juga kan yang harus melakukan pengawasan,” tegasnya. Terkait IUP, prosesnya langsung diajukan ke Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) atau di tingkat dinas provinsi melalui Sistem Online Single Submission-Risk Based Approach (OSS-RBA).
Berkaitan aktivitas itu, beber Hendra, tak ada laporan baik desa maupun warganya. Jika memang diduga aktivitas itu pertambangan ilegal, kewenangannya ada di ranah penegak hukum. “Kami pun menunggu aduan, tapi sampai sekarang tidak ada aduan,” katanya.
Hal ini menyusul adanya insiden jalan penghubung antar desa di lokasi tersebut nyaris putus. Penyebabnya, aktivitas pertambangan. Kondisi itupun otomatis menyebabkan mobilitas masyarakat terganggu.
Kejadian itu juga diperlihatkan dalam tayangan video berdurasi 57 detik yang direkam warga dan tersebar di media sosial (medsos). Hal ini diduga adanya dampak aktivitas pengerukan di sekitar lokasi pertambangan. Meski sempat ditangani pihak tambang, kondisi ini kian parah karena badan jalan tersisa sekitar satu meter akibat ambrol.
Sebelumnya, pihak desa sempat mengimbau berulang kali agar tak melakukan pengerukan hingga ke pinggir jalan, sebab riskan. Pada akhirnya, kejadian. Jika tak ditangani, maka bakal memutus akses penghubung antar desa, yakni Desa Baru dan Desa Salam.
Ketika tanya regulasi terkait berapa jarak atau radius antara kawasan permukiman dan aktivitas pertambangan? Ia lupa.
Berdasarkan aturan sebelumnya, Peraturan Menteri (Permen) Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012 tentang Indikator Ramah Lingkungan Untuk Usaha dan/atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara menyebutkan, jarak lubang tambang antara lokasi pertambangan dengan kawasan permukiman, minimal berkisar 500 meter.
Sementara, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (Permen LH/BPLH) Nomor 20 Tahun 2025 tentang Kriteria Baku Kerusakan Lingkungan Hidup Untuk Lahan Akibat Usaha dan/atau Kegiatan Pertambangan, menyebut, jarak lubang tambang (aktif/tidak aktif) kurang dari 500 meter. Baik dari batas sungai, waduk, danau, laut, infrastruktur publik, dan permukiman. Jarak tersebut tidak sesuai dengan kajian geoteknik.
“Aktivitas pertambangan kan sudah ada ketentuannya. Salah satunya memberikan keamanan bagi warga, kalau perusahaan itu memang memiliki Izin Usaha Pertambangan (IUP),” pungkas Hendra Mahyudi.
Reporter: Riswan | Editor: Nasrullah















