Search
Close this search box.
  1. Home
  2. »
  3. Banjarmasin
  4. »
  5. Peringatan 1 Mei: Pemberontakan Buruh Tambang di Kalimantan Saat Zaman…

Peringatan 1 Mei: Pemberontakan Buruh Tambang di Kalimantan Saat Zaman Kolonial

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Print
Reddit
Sumber foto: Web resmi KITLV Belanda

Headline9.com, BANJARMASIN – Pemeberontakan kaum buruh tambang di Pulau Laut (sekarang Kabupaten Kotabaru) pada 1930an. Karena mereka akhirnya mulai menyadari kalau disiplin yang dijalankan dengan kekerasan atau dengan hukum cambukan, tidak menaikkan wibawa Kolonial Belanda.

Sejarawan Muda Kalimantan Selatan, Mansyur mengatakan, pada tahun 1903, dengan penanaman modal investor Belanda, tambang batubara terbesar di Pulau Laut (sekarang Kabupaten Kotabaru) mulai berproduksi.

Menjelang tahun 1910 telah menghasilkan kira-kira 25 persen pemasukan dari semua ekspor Hindia Belanda. Produksi tambang-tambang besar ini diekspor, sementara hasil kegiatan-kegiatan produksi yang lebih kecil diarahkan untuk pemasaran setempat.

“Saat itu, kualitas batubara yang rendah dan tersedianya batubara dari Eropa yang lebih murah, terutama dari Inggris, menyebabkan kemunduran pertambangan Belanda di Kalimantan pada tahun 1930-an,” jelas lelaki yang akrab disapa Sami, pada Senin 1 Mei 2023.

Lelaki yang menjabat Ketua Lembaga Kajian Sejarah, Sosial dan Budaya (SKS2B) menambahkan, pada era menjelang krisis ini, dinamika terjadi ketika muncul banyak penolakan kerja sebagai perlawanan dari para buruh tambang batubara Pulau Luat.

Hal ini telah menggemparkan pejabat-pejabat kolonial Belanda. Mereka akhirnya mulai menyadari kalau disiplin yang dijalankan dengan kekerasan atau dengan hukum cambukan, tidak menaikkan wibawa Kolonial Belanda.

BACA JUGA :  Gubernur Kalsel Paman Birin Bagikan Sayuran Gratis kepada Pegawai dan Masyarakat

“Dalam bukti-bukti sejarah, para buruh tambang dari waktu ke waktu mulai tidak patuh lagi terhadap pimpinan perusahaan. Hal ini menimbulkan kesadaran bagi Pemerintah Kolonial Belanda, bahwa hukuman kekerasan fisik terhadap para buruh tambang tidak menjadikan takut dan patuh, namun membuat para buruh menjadi berani dan berontak kepada pimpinan perusahaan,” ungkapnya.

Bahkan pemberlakuan hukuman cambuk bagi para buruh tidak membuat jera. Beberapa seperti pekerja tambang bernama Usup, Musa, dan Djabar sangat terbiasa dengan kekerasan.

Sebagaimana juga banyak buruh dari kalangan narapidana lainnya, yang menggunakan ilmu kebalnya sehingga berani berbuat sekehendak hati. “Bagi mereka, hukuman pencambukan merupakan hal wajar,” jelasnya.

Selain menolak bekerja, para buruh juga banyak yang melarikan diri. Penyebab utama adanya budaya kekerasan, dimana pemerintah kolonial mempekerjakan para kriminal sebagai buruh dari kalangan narapidana.

Adanya buruh narapidana ini menjadikan kondisi kerja menjadi semakin brutal dan memburuk. Kisaran tahun 1923, Inspektur Perburuhan melaporkan bahwa dalam jangka waktu 6 bulan, telah terjadi 114 kasus cedera fisik serta serangan sesama kuli napi, dengan 24 kasus fatal.

BACA JUGA :  Tak Bisa Bekerja, Ribuan Sopir Batubara Bakal Demo ke Polda, DPRD Prov dan Gubernur Kalsel

“Masalah lain juga muncul, seperti pembagian jatah makan yang tidak merata dan bermutu buruk, seringkali terjadi bahwa buruh sepulang kerja tidak mendapat makanan, atau makannannya dicuri oleh buruh lainnya,” ucapnya.

Pada saat itu, para buruh tambang merasakan lapar terus-menerus dan tidak sanggup lagi menanggung kesengsaraan, kuli-kuli itu lalu melarikan diri atau menolak bekerja.

Para pekerja tambang hidup bersama dalam satu barak panjang. Oleh karena itu, pencurian uang atau barang sering terjadi.

Tidak hanya pencurian dan juga pembagian makan yang tidak merata dan bermutu rendah, perawatan medis kala itu sangat tidak memadai, sehingga angka kematian serta kebutuhan akan perawatan di rumah sakit sangat tinggi.

“Pada masa itu, kekerasan cenderung meningkat ketika semua orang yang berhubungan dengan tambang Pulau Laut menghadapi kesulitan ekonomi. Berbagai pelaku, seperti anggota kepolisian, pengawas, mandor di tambang, staff administratif Belanda yang bertanggung jawab atas pengaturan persiapan makanan, semua cenderung menyalahgunakan kekuasaannya, melakukan korupsi dan kekerasan dalam upaya mencari status dan kekayaan, atau untuk bertahan hidup,” pungkasnya.

Reporter: Mada Al Madani
Editor: Lintang

Baca Juga