Search
Close this search box.
  1. Home
  2. »
  3. esai
  4. »
  5. Musim Pengganti: Romantisme dan Realitas Kehancuran

Musim Pengganti: Romantisme dan Realitas Kehancuran

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp
Print
Reddit

Headline9.com – Saat hujan turun, dunia seakan dilukis ulang dengan kuas yang berbeda. Langit kelabu menyapu cerahnya biru, dan butir-butir air menggema karya seni yang melenyapkan kekeringan namun kerap bersembunyi sebagai pendahulu malapetaka. Musim hujan bukan hanya tentang romantika gerimis yang menari di atap, melainkan juga epilog yang diam-diam menghapus tawa dengan bencana dan penyakit. Essai ini adalah penghormatan untuk dualisme musim hujan, penanda kehidupan sekaligus kematian, harapan dan juga duka.

Angin musim hujan adalah sutradara yang tidak kasat mata, mengarahkan awan-awan mendung untuk berkumpul dan berpesta. Ketika mereka bersatu, langit berubah menjadi panggung teatrikal dengan lemparan-lemparan kilat yang spektakuler dan guntur sebagai backsound yang mendominasi skena alam. Hujan pun turun, tidak lagi hanya tetes tapi kadang menjadi tirai air yang pekat. Dari sanubari bumi, muncullah genangan-genangan kecil yang cepat menjadi lautan mini, mengisolasi wilayah dengan derasnya banjir yang siap memangsa tanah dan menelan kehidupan.

Dan di sana, siang berganti malam, bendungan alami mulai tersungkur. Sungai yang pernah jinak kini menjadi binatang buas yang meluapkan dendamnya ke dataran rendah. Kali-kali menggigil kehilangan rasa, tanggul-tanggul terisak, retak, dan kemudian pecah. Air menggelegak masuk ke dalam rumah-rumah, merajalela tanpa izin, membawa lumpur yang seperti lukisan abstrak di dinding-dinding kamar dan potret-potret yang terbengkalai.

BACA JUGA :  Kata, Waktu dan Realita di Siklus Lima Tahun

Bukan hanya air yang menjadi pelukis tragedi musim ini, tetapi juga penyakit yang tiba bagaikan pencuri di malam hari. Nyamuk penyiar demam berdarah menemukan sorga di genangan air yang tak terurus. Mereka berpesta di setiap kubangan, beranak pinak tanpa gangguan. Lalu, ada pementasan lain, di mana angin dingin dan lembap menjadi kasur empuk bagi influenza yang merangsek masuk ke dalam sistem pernapasan yang tidak bersiap. Batuk dan flu menjadi nyanyian sehari-hari, mengiringi riuh rendah suara percikan hujan.

Di lain sisi, alam menguji kecekatan manusia dalam drama bertahan hidup. Longsor tanah adalah salah satu pemerannya yang mematikan. Di lereng-lereng yang rapuh, hujan adalah beban tambahan yang tak terbendung. Rumah-rumah, pohon-pohon, dan mimpi-mimpi yang tertanam di atasnya, tergelincir ke dasar jurang tanpa ampun. Getaran tanah yang runtuh adalah suara yang memekakkan, suatu perpisahan tiba yang tidak sempat diucapkan.

BACA JUGA :  Penjara Datang Bergantian, Berganti Rupa

Namun, drama hujan ini bukan hanya sekadar narasi pesimisme. Ada pesan di balik deras dan tuahnya. Menyematkan arti penting pada kewaspadaan dan kepedulian kepada lingkungan, menyadarkan betapa manusia adalah bagian tak terpisahkan dari alam. Pengendalian banjir, penataan ulang daerah aliran sungai, serta pemberantasan sarang nyamuk adalah sajak-sajak baru yang harus dikumandangkan. Bersama, kita menyusuri alur cerita musim hujan dengan keberlangsungan hidup sebagai plot utama – menavigasi antara keindahan dan keganasan, berteduh di bawah payung kesadaran.

Sebagai epilog, hujan yang turun melukis kehidupan dengan dua wajah – memberi dan mengambil, menyunggingkan senyum sekaligus meneteskan air mata. Di sana, kita belajar untuk menari bukan hanya dalam sukacita, tapi juga saat harus belajar menghindar dari air mata bumi. Musim hujan, dengan segala bencana dan penyakitnya, adalah penanda waktu untuk manusia agar selalu ingat bahwa setiap tetes hujan membawa pelajaran bagi yang bersedia mendengarkan.

Nasrullah, Sabtu 6 Januari 2024

Baca Juga