HEADLINE9.COM, BANJARBARU – Hingga di Triwulan III-2020 yakni Juli – September, produksi batubara di Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan mencapai 45 juta metrik ton, yang mana untuk target produksi batubara Kalsel 2020 khusus Izin Usaha Pertambangan (IUP) daerah 63 juta metrik ton.
Kepala Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalsel Isharwanto, melalui Kasi Pengusahaan Minerba Endarto mengakui sebelumnya kinerja produksi sempat terhambat, akibat pandemi COVID-19, khususnya di triwulan II-2020. Namun, setelah diterapkannya new normal, tren kembali membaik memasuki triwulan III.
Pada triwulan I-2020, tepat saat mulai merebaknya pandemi, kondisi di sektor pertambangan justru masih stabil.
“Kalau di triwulan satu masih stabil, mulai terasanya di triwulan dua, ada sedikit penurunan, tapi di triwulan III sudah mulai membaik tapi tidak signifikan,” ujar Endarto Kamis (26/11) siang.
Endarto mengatakan, pada triwulan III 2020, untuk pencapaian jumlah produksi batu bara di tahun ini, akan mengalami penurunan dibandingkan dengan jumlah produksi di 2019 lalu.
Meskipun begitu, Pemprov Kalsel tetap optimis produksi batu bara mencapai target, meski pandemi belum berakhir. Terlebih, harga batu bara acuan (HBA) juga terus meningkat, mendekati pergantian tahun.
“Sekarang harga batu bara mengalami kenaikan,” ungkapnya.
Catatan positif produksi batu bara ini, dinilai akan berbanding lurus dengan pendapatan yang diterima Pemprov Kalsel, yakni dalam bentuk dana bagi hasil (DBH) dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP) pertambangan.
“Tapi kalau menurun, imbasnya pendapatan negara dan daerah juga turun,” ucap Endarto.
Dia mengungkapkan, penjualan batubara Kalsel mengalami penurunan disebabkan oleh banyaknya perusahaan pengguna batubara yang tidak beroperasi selama pandemi Covid-19. Sehingga, permintaan pun berkurang.
“Perusahaan ini yang banyak tutup saat pandemi. Untungnya, permintaan dari pembangkit listrik tidak berkurang,” bebernya.
Sementara itu, tak hanya soal jumlah produksi pihaknya juga turut menerima berbagai keluhan dari sejumlah perusahaan tambang terkait berubahnya pola pemasaran hasil produksi. Dalam hal ini, ialah perusahaan tambang pemegang IUP yang mati-matian memasarkan hasil produksi di dalam negeri.
“Tak hanya itu terbatasnya tenaga kerja akibat pandemi, cuaca yang tidak mendukung menjadi faktornya,” katanya.
Kemudian, dampak lain akibat pandemi di sektor pertambangan juga berpengaruh terhadap royalti yang diterima pemerintah daerah. Apalagi, tak sedikit perusahaan yang meminta pemerintah memberikan stimulus berupa relaksasi pembayaran royalti batu bara untuk sementara waktu.
Selanjutnya, meskipun di tengah kondisi pandemi, pihaknya tetap memonitoring dan evaluasi terhadap perusahaan tambang untuk melakukan reklamasi.
“Kita selalu meminta reklamasi tetap dijalankan walaupun adanya pandemi,” tegasnya.
Endarto menambahkan untuk lahan yang masih dikerjakan sementara belum di reklamasi, tak hanya itu faktor cuaca turut mempengaruhi pelaksanaan reklamasi oleh perusahaan.
“Perbandingan lahan yang dibuka dengan jumlah yang direklamasi harus naik grafiknya dan lahan yang dibuka pun harus selektif,” pungkasnya. (HL9/Ptr)