Minggu, Juni 15, 2025
BerandaTahukah AndaMerajut Jadi Penentu Harga Diri Pria di Pulau Taquile, Peru

Merajut Jadi Penentu Harga Diri Pria di Pulau Taquile, Peru

headline9.com, TAQUILE – Di Pulau Taquile, Peru selatan, merajut bukan sekadar keterampilan tangan, melainkan simbol kehormatan dan kesiapan seorang pria untuk menikah. Di tengah panorama Danau Titicaca yang tenang, tradisi unik ini masih dijaga ketat oleh komunitas lokal.

Para pria sejak usia muda diajarkan merajut topi wol bernama chullo. Namun, tidak sembarang hasil rajutan bisa diterima. Sebelum melamar seorang gadis, kualitas rajutan diuji dengan ketat—salah satunya dengan menuangkan air ke dalam topi. Bila air merembes keluar, rajutan dianggap buruk dan mencerminkan ketidaksiapan si pria dalam berumah tangga.

Keluarga calon istri sangat mempertimbangkan hasil uji ini. Topi rajutan menjadi cermin ketekunan, kesabaran, dan tanggung jawab pria sebagai calon kepala keluarga. Tak heran, di Taquile, merajut lebih dihormati dibanding kekayaan atau jabatan.

Tradisi ini bukan hanya memperkuat identitas budaya, tapi juga menjadi simbol kesetaraan—karena para pria di Taquile justru memegang peran utama dalam seni tekstil yang biasanya dilakukan perempuan di banyak budaya lain.

BACA JUGA :  Mengenal Istilah Kambang Sarai, Rangkaian Bunga yang Khusus Dibuat Pengrajin Martapura

Dengan tetap mempertahankan warisan ini, masyarakat Taquile menunjukkan bahwa adat istiadat tak harus ketinggalan zaman, dan nilai-nilai ketekunan bisa diwujudkan bahkan dari seutas benang.

Lebih dari itu, merajut juga menjadi sarana ekspresi artistik. Setiap chullo memiliki pola dan warna khas yang mencerminkan status sosial, wilayah asal, hingga pandangan hidup perajutnya. Simbol-simbol yang tertanam dalam rajutan mengandung makna filosofis yang diwariskan turun-temurun.

Tak jarang, seorang pria yang terampil merajut bisa menjadi kebanggaan komunitas. Ia dianggap sebagai teladan generasi muda dan diberi peran penting dalam acara adat. Aktivitas merajut pun dilakukan secara kolektif, terutama di ruang terbuka sambil menikmati pemandangan danau.

Di sisi lain, perempuan di Taquile lebih banyak berperan dalam memintal benang dan menenun kain yang digunakan sebagai bahan dasar. Pembagian peran yang harmonis ini memperlihatkan bahwa kesetaraan bukan sekadar soal siapa yang bekerja, tetapi bagaimana kontribusi dihargai secara adil.

BACA JUGA :  Balap Jukung Tradisional, Event Baru Gagas Wisata Sungai di Martapura Barat

Pemerintah lokal bersama komunitas adat juga aktif melestarikan tradisi ini lewat pendidikan dan pelatihan sejak usia dini. Anak-anak diajak belajar merajut sambil memahami sejarah dan nilai-nilai budaya yang melekat di balik setiap jahitan.

Pulau Taquile bahkan dikenal sebagai salah satu contoh pelestarian budaya tekstil terbaik di dunia. Pada 2005, UNESCO menetapkan seni merajut dan menenun masyarakat Taquile sebagai Warisan Budaya Takbenda Kemanusiaan.

Meski pariwisata mulai masuk, masyarakat setempat tetap menjaga kemurnian tradisi. Wisatawan yang datang diimbau menghormati proses budaya dan tidak memperlakukan hasil rajutan sekadar cendera mata.

Di tengah arus modernisasi yang kian deras, masyarakat Taquile membuktikan bahwa tradisi bisa hidup berdampingan dengan zaman. Sebuah pelajaran tentang ketekunan, kehormatan, dan cinta yang ditenun dalam sehelai benang.

RELATED ARTICLES
- Advertisment -
- Advertisment -
- Advertisment -
- Advertisment -

Most Popular