Headline9.com, MARTAPURA – Setelah pemberitaan soal gubuk reyot Martinah (62) mencuat, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banjar tiba-tiba seperti kebakaran jenggot. Rehabilitasi rumah tak layak huni (RTLH) milik janda lansia itu akhirnya diambil alih bukan oleh instansi yang seharusnya sigap, melainkan oleh Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Lingkungan Hidup (DPRKPLH) Banjar.
Anggarannya pun sudah disiapkan, Rp26 juta per unit, melalui APBD Perubahan 2025.
“Bantuan yang masuk dalam usulan Pemprov Kalsel kami geser saja, supaya tidak tumpang tindih. Jadi lebih baik masuk ke kami,” kata Kepala Bidang Penyediaan Perumahan DPRKPLH Banjar, Akhmad Rizkon, seolah urusan ini sekadar administrasi biasa, bukan soal hidup-mati seorang warga miskin yang puluhan tahun tinggal di gubuk reyot.
Lambannya respon Pemkab Banjar makin telanjang ketika anggota DPRD, Wahyu Akbar, lebih dulu datang ke rumah Martinah. Menurut pengakuan sang pemilik rumah, belum ada satu pun uluran tangan dari pemerintah daerah, meski pihak desa sudah menyurvei dan melaporkan kondisinya. Pemkab seolah lebih nyaman menonton dari jauh.
Sementara itu, Bupati Banjar H Saidi Mansyur dengan percaya diri pernah menyatakan angka kemiskinan ekstrem sudah hilang. Kenyataannya, di lapangan, rumah warga masih ada yang beratap terpal, berdinding rapuh, bahkan sudah puluhan tahun tak tersentuh bantuan. Kalau ini yang disebut “hilang”, mungkin maksudnya yang hilang adalah nurani, bukan kemiskinan.
Selain Martinah, kasus serupa juga dialami Arbaiyah (84) di Desa Thaibah Raya, Kecamatan Tatah Makmur, dan Yusril Ifansyah (40), pekerja serabutan di Desa Mangkalawat, Kecamatan Mataraman. Arbaiyah menunggu belas kasihan di usia senja, sementara Yusril bertahan hidup dalam “rumah” berukuran 4×4 meter beralas tanah dan berdinding terpal.
DPRKPLH Banjar memastikan tiga rumah reyot tersebut akan direhabilitasi Oktober 2025 mendatang, dengan catatan tetap menunggu proses. Sementara rakyat miskin harus terus bersabar di bawah hujan dan panas.
Satirnya, Pemkab Banjar masih bangga dengan jargon “Banjar MANIS” – Maju, Mandiri, Agamis. Sayang, manisnya hanya di spanduk, sementara rakyat miskin tetap pahit di gubuk reyot mereka.
Reporter: Riswan | Editor: Nashrullah