Headline9.com, MARTAPURA – Perluasan bisnis industri properti alias lahan yasan di Kabupaten Banjar kian pesat. Kebutuhan hunian baru dari tahun ke tahun di Bumi Barakat juga terus bertumbuh. Sementara, kawasan lumbung pangan semakin terkikis.
Lantas bagaimana solusinya? Sementara Kabupaten Banjar disebut-sebut merupakan daerah penyangga pangan pada sektor pertanian untuk Kalsel. Disisi lain, bisnis perumahan (properti) semakin mejamur tak kenal lagi kawasan pertanian.
Menjawab itu, sempat dilaksanakan rapat dengar pendapat (RDP) untuk menuntaskan masalah tersebut, tanpa mengesampingkan kepentingan pihak yang mengambil keuntungan dari bisnis ini. Mulai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) sampai Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kabupaten Banjar yang masih cukup alot. Belum selesai disitu, perdebatan sempat terjadi antara Dinas Pertanian dan Dinas PUPRP dikarenakan bentrok aturan.
Di ruang rapat gabungan Gedung DPRD Kabupaten Banjar gelaran itu dipimpin Ketua Bapemperda, Saidan Fahmi, bersama jajarannya dihadiri Sekdakab Banjar, H Mokhamad Hilman, PUPRP, DPMPTSP, dan Dinas Pertanian Kabupaten Banjar, Rabu (29/5/2024) kemarin, sebagai bentuk menyikapi agar persoalan ini clear.
Politisi dari Partai Demokrat ini secara terang-terangan juga menyebut, bahwa aturan RDTR harus dilakukan perubahan setelah dilakukan evaluasi. Dalam upaya mensinkronisasikan dengan aturan di atasnya. Tinggal, bagaimana peraturan daerah (perda) bisa menyesuaikan.
“Rekomendasi kami minta rubah RDTRnya dan pak Sekda menyetujui. Sedangkan untuk yang ini, kami di DPRD juga akan dalam jangka waktu cukup panjang mungkin akan melakukan revisi terhadap perda RTRW melalui program legislasi daerah (Prolegda) 2025 dengan menyesuaikan peraturan Kementerian PUPR,” ujarnya, kepada awak media, Senin (3/6/2024).
Yang jelas, bahasan ini tak luput dari program penyediaan perumahan untuk Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Yang mana, ukuran lahan di daerah ini sudah dipatok berdasarkan zonasi sesuai Perda Nomor 3 Tahun 2024. Sementara, di Peraturan Kementerian PUPR Nomor 689 tahun 2023 mengenai batasan wilayah lahan, untuk MBR sendiri tidak diklasifikasikan melalui zonasi.
“Di Perda kita dibikin berdasarkan zonasi, yakni kepadatan sangat rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Nah, kalau untuk MBR itu kategorinya sedang, tinggi dan sangat tinggi,” ujarnya lagi.
Padahal, masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) itu bukan hanya berada di wilayah zona kepadatan tinggi saja. Zona dengan kategori kepadatan rendah pun mereka mau tinggal dan menempati lokasi tersebut.
“Artinya mereka sudah bisa menikmati rumah bersubsidi tanpa harus tinggal di kawasan kepadatan tinggi,” ucapnya.
Menyangkut ukuran lahan untuk perumahan bersubsidi bagi MBR harganya pun sudah ditentukan menyesuaikan Peraturan Kemeterian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) RI. Secara umum, real property Kalsel dikenakan harga sebesar Rp177 juta, paling tinggi per unit rumah subsidi sekitar Rp182 juta.
“Penetapan untuk MBR tadi tidak diklasifikasikan berdasarkan zonasi. Misalnya mininal luasan lahan untuk membangun Kabupaten Banjar 100 meter itu minimal tapi boleh lebih, kalau diperkotaan boleh lah,” ucapnya.
Sedangkan, lanjut Saidan, wilayah yang agak jauh dari kepadatan penduduk dengan ukuran minimal 100 meter tinggal menyesuaikan. Baik itu sepaket harga jual sampai marketnya (pangsa pasar). “Maksud dari market itu bisa laku tidak. Biasanya trik dari pengembang itu kan kalau jauh dari kepadatan penduduk justru mereka akan bikin kavling tanah dengan luasan MBR tadi dari lebih batasan angka minimal tadi seperti 120 – 140 meter,” paparnya.
Terkait RDTR yang bakal diubah, juga turut menyeret Kecamatan Gambut. Kesannya usai direvisi, bisnis properti makin meluas bahkan secara tak langsung mengikis sedikit demi sedikit lahan pertanian di wilayah berjuluk “Kindai Limpuar” tersebut.
Bagaimana nasib dari Lahan Sawah yang Dilindungi (LSD) dan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) apabila RDTR diubah, apakah membuat untung bisnis pengembang perumahan atau malah mengakibatkan kawasan swasembada lumbung pangan (padi) di Kabupaten Banjar terancam menyusut dan terus itu hilang. Sedangkan LSD dan LP2B termaktub resmi dalam peraturan pemerintah?
Saidan menjawab, “kemarin kita sudah rapat dengan Komisi II, ya kebetulan leading sektor dari LSD dan LP2B itu kan Dinas Pertanian. Nah, secara cultural maupun secara geografis Kabupaten Banjar sangat berdekatan dengan Ibu Kota Provinsi (IKP) berbeda dengan Batola yang 5 – 10 tahun tidak masalah. Beda halnya di wilayah Gambut yang berdekatan dengan Banjarmasin itu sudah terjadi pergeseran,” bebernya anggota yang juga duduk di Komisi II DPRD Kabupaten Banjar.
Dijelaskannya lagi, pergeseran ini dimaksudkan adanya semangat petani untuk menjual lahan pertanian. Kemudian, keinginan untuk memiliki rumah hunian sendiri (perumahan) semakin tinggi. Bahkan guna sinkron, LP2B dan LSD diminta oleh pihak legislatif agar dikaji ulang. Seyogianya, penetapan lahan-lahan tersebut minimal harus jauh dari permukiman.
Sempat muncul berdebatan karena kawasan di daerah ini sudah ditentukan, baik itu hutan ataupun Hak Guna Usaha (HGU). Ditambah dengan problem bisnis pengembang perumahan yang saat ini menjadi perhatian bersama.
“Intinya semua sektor itu penting. Sekarang, apakah kultur agraris (pertanian sebagai mata pencaharian) kita pertahankan 5 – 10 tahun atau mau bergeser ke sektor industri? Kaitannya ke depan nanti,” pungkasnya.
Reporter : Riswan Surya
Editor : Nashrullah